3 Minggu setelah kereta yang Biana naiki membawanya entah ke mana.
Apa yang sekiranya ada di pikirannya? Membuat aku dewasa untuk tidak mendekatinya? Ataukah ini idenya untuk kumelupakan dia? Aku harap jangan. Karena entah bagaimana aku, dan keseharianku yang kujalankan dengan putus asa. Apapun jawabannya, meskipun Biana sendiri tidak dapat menyimpan jawabannya, biarlah menjadi salah satu rahasia semesta yang ke sekian banyaknya.
Aku lihat lagi langit sore di pagi hari. Sepanjang hari selalu ada lembayung menemani awan-awan kota Depok, entah apa memang aku, atau memang langit juga membantuku menggelapkan suasan hati.
Langit malam pun juga tak pernah cerah, namun tak pernah hujan. Benar, semenjak Biana, akhir-akhir ini sudah tidak hujan, tapi bukan pula kemarau. Aku tidak mau berlarut dalam itu, namun langit selalu melarangku untuk tidak mengingatnya tiap hari.
Bagaimana aku beranjak dari teras rumahku, jika cuaca dan awan ber-sekongkol untuk membuatku terpaku membayangkan indahnya semesta, apalagi dengan senyum Biana yang sepanjang hari ada di sampingku. Kalian pasti lelah dengan aku yang menyebut namanya, bukan? Maafkan aku, tapi untuk saat ini, dia adalah musim yang sedang bermukim di kotaku. Bayangkan saja, jikalau di musim kemarau, orang-orang sama sekali tidak mengeluh atau membicarakan tentang sumber air yang menipis.
Ganjil bukan?
Sore hari, aku susuri margonda bersama hiruk pikuk lingkungannya. Sepanjang jalan dengan sepeda tuaku, yang mungkin tak pernah aku gunakan ketika ada Biana di sini. Aku lebih suka berjalan bersama dia, waktu terasa lebih lama jika seperti itu.
Oh liat, itu Rama, dia adalah temanku kala SMA. Dia datang ke arahku, membawa kebisingan mesin yang dihasilkan dari motor buatan Jepang miliknya.
"Oh, lihat ini, teman lamaku yang kesepian.." gurauan yang ia lontarkan entah kepada siapa, namun aku tau, itu ditujukan untukku.
"Rama, lihatlah motor-mu itu, bahkan dia hanya mengangkut satu orang."
"motor ini hanya dapat mengangkut satu orang, Dera."
"Hahaha, apa kabar, kawan?"
Dari situ kami banyak berbincang, dan bertukar cerita, dari Ia yang memilih untuk langsung terjun di dunia kerja, sampai saat ini dia yang akan segera menikah.
Rama, dia adalah sosok yang aku kagumi, namun tak ingin kutiru, namun tetap ku-iri-kan. Aku tidak bisa berkata bagaimana dirinya dengan menyebut ke-jelek-annya, tapi, jika dapat aku gambarkan, akan kusebut Dia sebagai sosok yang penuh resiko. Salah satunya adalah yang sudah kusebutkan tadi, Ia memilih untuk langsung terjun di dunia kerja, dengan ijazah lulusan SMA, mungkin banyak dari kita yang mengetahui akan mudah jika itu adalah SMK/STM, namun bagi dia SMA saja cukup, dan lihat dia sekarang, dia berada di naungan perusahaan asing, mungkin aku akan bertanya nanti tentang bagaimana ia dapat melakukan hal itu.
"Sudah 3 tahun kita tidak bertemu, dan 2 bulan lagi kau akan menikah.." Itu aku, dengan ketidak-sangkaan-ku akan temanku yang masih berusia 22.
"Hahaha, lantas kenapa? kau sendiri tidak mau mengikutiku dulu.."
Rama memang pernah mengajakku untuk langsung kerja, namun aku tidak percaya dengan kemampuanku, yang bahkan aku tak setuju jika itu dikategorikan sudah berada di tingkat SMA.
"Ohiya Dera, bagaimana dengan Biana?"
"Biana.."
Seketika, aku terpaku, jelas saja, mengapa Rama tiba-tiba menyebutnya? Oh benar, itu bukan salahnya, itu juga haknya untuk bertanya.
"Ah Rama, aku lupa aku harus pulang sebelum maghrib tiba. Minggu ini kita bisa bertemu kan?"
"Di kedai kopi dekat sekolah SMA kita? Itung-itung mengingat masa lalu.."
"Sepakat! Sampai bertemu nanti.."
Kalian tau aku berbohong bukan, kala itu, kembali lagi, perasaan melankolisku.
"Bagaimana dengan Biana?" katamu? Bagaimana mungkin aku bisa menjawabnya, dengan aku yang tak pernah bisa menjawab pertanyaan "Bagaimana dengan aku.."
"Bagaimana dengan aku tanpa Biana?"
Oh liat, itu Rama, dia adalah temanku kala SMA. Dia datang ke arahku, membawa kebisingan mesin yang dihasilkan dari motor buatan Jepang miliknya.
"Oh, lihat ini, teman lamaku yang kesepian.." gurauan yang ia lontarkan entah kepada siapa, namun aku tau, itu ditujukan untukku.
"Rama, lihatlah motor-mu itu, bahkan dia hanya mengangkut satu orang."
"motor ini hanya dapat mengangkut satu orang, Dera."
"Hahaha, apa kabar, kawan?"
Dari situ kami banyak berbincang, dan bertukar cerita, dari Ia yang memilih untuk langsung terjun di dunia kerja, sampai saat ini dia yang akan segera menikah.
Rama, dia adalah sosok yang aku kagumi, namun tak ingin kutiru, namun tetap ku-iri-kan. Aku tidak bisa berkata bagaimana dirinya dengan menyebut ke-jelek-annya, tapi, jika dapat aku gambarkan, akan kusebut Dia sebagai sosok yang penuh resiko. Salah satunya adalah yang sudah kusebutkan tadi, Ia memilih untuk langsung terjun di dunia kerja, dengan ijazah lulusan SMA, mungkin banyak dari kita yang mengetahui akan mudah jika itu adalah SMK/STM, namun bagi dia SMA saja cukup, dan lihat dia sekarang, dia berada di naungan perusahaan asing, mungkin aku akan bertanya nanti tentang bagaimana ia dapat melakukan hal itu.
"Sudah 3 tahun kita tidak bertemu, dan 2 bulan lagi kau akan menikah.." Itu aku, dengan ketidak-sangkaan-ku akan temanku yang masih berusia 22.
"Hahaha, lantas kenapa? kau sendiri tidak mau mengikutiku dulu.."
Rama memang pernah mengajakku untuk langsung kerja, namun aku tidak percaya dengan kemampuanku, yang bahkan aku tak setuju jika itu dikategorikan sudah berada di tingkat SMA.
"Ohiya Dera, bagaimana dengan Biana?"
"Biana.."
Seketika, aku terpaku, jelas saja, mengapa Rama tiba-tiba menyebutnya? Oh benar, itu bukan salahnya, itu juga haknya untuk bertanya.
"Ah Rama, aku lupa aku harus pulang sebelum maghrib tiba. Minggu ini kita bisa bertemu kan?"
"Di kedai kopi dekat sekolah SMA kita? Itung-itung mengingat masa lalu.."
"Sepakat! Sampai bertemu nanti.."
Kalian tau aku berbohong bukan, kala itu, kembali lagi, perasaan melankolisku.
"Bagaimana dengan Biana?" katamu? Bagaimana mungkin aku bisa menjawabnya, dengan aku yang tak pernah bisa menjawab pertanyaan "Bagaimana dengan aku.."
"Bagaimana dengan aku tanpa Biana?"
Depok, 12 Januari 2006
-Dera-
0 komentar:
Posting Komentar