"Dera, kamu tidak perlu berdiri di sana". Aku tau ketika itu kamu memanggilku, bukan untuk membawaku ke sana, justru sebaliknya, agar aku menyingkir dari pandangan indahmu. Aku tidak salah menyebut, tiap hal yang kamu pandang, aku bisa merasakan pandangan itu, indah yang aku rasakan seperti berada mimpi yang gelap, memelukku dan menyelimuti tubuhku yang sedaritadi dingin karena hujan. "Dera, sungguh, kamu tidak sebaiknya di sana." Oh benar, kamu ingin meilhat ke adaan di luar jendela, yang sesungguhnya sama dengan orang yang baru saja kamu sebut namanya.
Guntur yang menyambar secara acak, seolah peringatkan bahwa kita tidak pernah aman, dan andaikan saja kamu dapat mendengar guntur itu, ditiap aku memandangmu dari jauh.
Aku tak pernah merasa aman, bahkan dengan mimpi yang gelap itu.
Aku tak pernah merasa aman, bahkan ketika kamu ada di dekatku.
Tapi, kamu harus tau, aku merasa bahagia, berada dalam ketidak-amanan itu. Melihatmu bahagia dalam keadaanku yang tak seharusnya.
"Biana.."
Lihatlah ekspresi yang kamu ciptakan saat aku memanggilmu. Andai kamu benar-benar dapat melihat raut yang kamu berikan kepadaku sebagai balasan panggilanku. Lirikkan mata. Hanya lirikan mata!
"Biana, kamu benar-benar menyukai badai?"
"Bahkan, ini bukan badai, Dera."
Aku mengerti dan tau kenapa. Kamu hanya menjawab itu, karena memang hanya itu yang ini kamu ucapkan kepadaku. Aku sadar, kamu memang ingin aku diam selayaknya aku biasanya. Tapi, maaf, aku sudah lama menyesali aku yang seperti itu.
"Dan seandainya itu memang badai?"
"Apa kamu ingin mengatakan bahwa aku menyukai hal yang menyebabkan bencana?"
...
Ada hening yang cukup lama bagi kita untuk bertatap-pandang, tapi Biana mengakhiri itu. Aku mengerti dia tak mau.
"Bukan, sepertinya aku salah menangkapnya."
Aku lebih memilih pergi dari ruangan tua itu, meninggalkan Biana sendiri dengan pikiran khayalnya.
Dengan pintu yang terlihat sudah tua, aku membukanya dengan suara pintu itu seolah menjadi efek keluarnya aku dari ruangan itu. Kali terakhir aku menujukan mataku kepada Biana, tapi dia tetap saja menatap dinginnya hujan di luar jendela.
Saat-saat seperti itu, sebenarnya aku mau mengatakan, tapi kukatakan ini di dalam hatiku saja.
"Biana, benakku mengatakan, kamu memang memiliki rasa terhadap badai. Setidaknya kamu lebih menyukai badai. Karena, memang itu yang selama ini kamu ciptakan padaku. 'hal yang menyebabkan bencana' kamu bilang? Bukan Biana, aku lebih suka kamu menciptakan itu. Setidaknya kamu menganggap aku ada, meski itu hanya untuk membuat badai yang lebih merusak. Tapi, kini aku mengerti, kamu ingin aku enyah, entah kamu sudah bosan dengan badai itu, atau memang sudah tidak ada yang bisa dihancurkan lagi dari batinku. Sekarang di sini lah kita. Kamu yang bertahan di sana, dan Aku yang akan enyah berkelana."
Depok, 10 Januari 2006
-Dera-
0 komentar:
Posting Komentar