Aku menemui seorang pria, berparas seperti wajarnya namun pucat wajahnya.
Kuhampiri dia yang sedang terpana pada langit-langit angkasa.
Muram, lekuknya. "Hari ini sama seperti kemarin." katanya.
Dia tidak melihatku, hanya merasa jika ada seseorang di sampingnya. Ia lebih tau bahwa aku bukan ingin menemaninya, cuma bertanya-tanya merujuk ke prasangka.
"Hari ini sama seperti kemarin." Ia lagi berkata, nampaknya usahanya gagal dieksekusi.
Kini ia berbicara tentang dosa.
Tentang yang akan dijumpa.
Tentang tempat yang nanti akan dikelananya.
Tentang waktu yang pasti menghampirinya.
Kini ia bertanya-tanya.
Apakah akan indah?
Apakah akan parah?
Apakah akan senang?
Atau mungkinkah gersang?
Matanya mengeluarkan air mata, namun tidak banyak.
Pucatnya semakin pasi, pipinya terlihat menirus.
Sepertinya ia telah berpuasa tanpa membatalkannya.
Lalu ia bergumam. Mengenai apa yang telah ia lewati.
Neraka dunia, mereka yang tidak menerimanya, membuang karena ia sudah tak berguna.
Penjara tak nyata, dikelilingi insan yang meminta sisi senang dari peluhnya, tidak memikirkan perjuangannya.
Buah simalakama, tentang batin yang harus diamputasi agar nyawanya terlepas dari kekangan buaya, atau memberi kewarasannya sebagai makanan singa-singa yang menghantuinya.
Perseteruan hati, hatinya berkelana mencari individu untuk dituduh, namun pada akhirnya dirinya lah yang salah.
Kini ia berhenti berekspresi. Menatap kosong ke bawah.
Matanya kembali ke arah angkasa, diikuti seluruh wajahnya.
Dia tak beranjak.
Dia tersenyum.
Seolah menikmati, menanti mati.
0 komentar:
Posting Komentar