Februari 17, 2018

Narasi Melankoli (IV)

Mereka membawa kenangan pahit, tapi datang membawa manisnya.
Aku, di tengah hujan dalam gelap di siang hari, berharap semua resah yang aku rasa terguyur air-air dari langit itu.
Hari ini, hari yang aku tunggu, hari Biana kembali ke kotanya, hari Biana kembali ke kotaku. Tapi Aku justru terlarut dalam senyawa yang kekal dalam siklus tiada henti ini. Entah apa yang harus Aku rasakan. Senang karena akhirnya Aku melihat terangnya langit malam dari wajah indahnya, atau sedih karena mengetahui kenyataan bahwa tak lama waktuku untuk melihat pemandangan itu di raut mukanya. Karena aku juga tau, Biana mungkin sudah tidak lagi ada rasa denganku, apa yang aku harapkan dari usahaku yang tidak ada apa-apanya?

Semesta mungkin menginginkan aku untuk tetap sendiri, mungkin Ia ingin untukku merenungi apa yang telahku lakoni. Apakah itu menjadi diriku, atau justru menghancurkan jati diriku. Tentang mereka yang telah aku lukai selama ini. Tentang menciderai ciptaan-Nya dengan tutur kataku. Aku begini juga mungkin karenaku, bukan?

Bagaimanapun, Biana adalah Biana, bagaimana nantinya, aku akan tetap memilikinya, memiliki perasaan untuk bisa memilikinya, meski nanti ia mencintai orang lain.
Mencintai, huh?
Aku terlalu naif untuk menggunakan kata itu, aku bahkan tidak tau bagaimana rasanya "Mencintai" itu, untuk dicintai, aku tidak terlalu berharap untuk itu. Yang aku tau, Biana masih memiliki rasa untukku, jauh di dalam hatinya, entah rasa memiliki atau benci, selama itu adalah aku, aku tetap memiliki asa.

Depok, 7 Pebruari 2006
-Dera-

0 komentar:

Posting Komentar