Jarinya menari, di atas papan berhuruf. Digital, namun total.
Pikirnya melayang, tersalur pada saraf pada tangannya, hingga terasa yang ia sampaikan.
Cerita tentangnya, atau orang lain, dengan hiperbola berbalut keindahan.
Kadang kala ia ceritakan tentang dirinya, namun semu, atau cerita tentang semu namun dibubuhi dirinya, agar sekali lagi diakhiri dengan keindahan.
Bersamanya, terlahir kalimat-kalimat yang rasanya ingin untuk berpaut ke dalamnya, mencari apa artinya, atau justru membuat banyak orang di antara kita untuk berspekulasi apa yang sedang ia rasakan. Tentu, kasih. Ia tak menginginkan itu.
Bersama yang ia ketik, terhanyut segala asa dan prasangka menjadi kesatuan yang membuat mereka yang membacanya merasakan menjadi dirinya, atau semu yang ia ciptakan.
Kini jarinya menari, tapi pada secarik kertas yang ia sengaja sediakan untuk berwacana. Pena hitam yang ia gunakan seolah menuntun kemana jemari itu harus menggoreskan huruf-hurufnya.
Menciptakan sebuah dunia, menduniakan sebuah cipta, seperti sudah terbiasa.
Memberi nyawa pada barisan-barisan aksara, atau justru membuat dirinya berada di sana, bersembunyi di urutan yang hanya dia yang tau. Lalu barisan yang padat itu dijadikannya menjadi senyawa cair, memperbolehkan tiap kata-kata itu mengikuti bentuk aliran sungai pada tiap nadi pembacanya, mengalir sampai otak menggambarkan apa yang mereka dapatkan dari kumpulan sastra itu.
Sastra, hampir lupa aku menyebut kata itu. Apa itu yang sedang ia lakukan? Sastra?
Apa itu yang sedang ia ciptakan? Sastra?
Apa aku terlalu berlebihan untuk mengatakan apa yang ia sajikan sebagai Sastra?
Untuk aku sendiri yang tidak paham apa itu Sastra atau bagaimana itu Sastra, aku mengagumi Sastra, akan tetap aneh jika aku meneruskan perasaan ini, karena aku kagum atas apa yang tidak kupahami.
Kalau benar, ini kah yang dinamakan Sastra?
Menjadi reaksi berantai antar satu, dua, hingga puluhan miliar orang, untuk saling menginspirasi, untuk saling mendukung, untuk saling berbagi karya.
Sampai hati aku bicarakan ini. Karena apa? kurasa aku adalah satu dari puluhan miliar orang itu. Atau mungkin karena itu adalah dia? bagaimana jika bukan dia, apa aku akan masuk dari puluhan miliar orang itu?
Beruntung aku masih bisa membaca apa yang ia sanjungkan. Meski tidak secara langsung, meski bukan kepadaku.
Dia juga membaca. Dia justru adalah pembaca. Dia adalah pembaca yang lebih dia kenal dibanding ia mengenal dirinya sebagai penulis.
Dia membaca seperti sebagaimana ia bernafas. Siapa yang ia baca? jawabannya adalah orang yang penting namun tidak penting jika kubicarakan di sini. Bisa jadi orang itu adalah reaksi berantai yang membuat dia menciptakan dunia aksara-nya sendiri.
Semakin lama aku membaca dari kata per kata miliknya, semakin aku ingin mengenalnya, namun tidak mungkin, kamu tidak perlu tau kenapa, karena yang perlu kamu tau adalah ketidakmungkinan itu.
Bagiku dia adalah Sastra. Sesuatu, atau bisa kubilang Seseorang yang tidak pernah bisa kupahami, seseorang yang tidak pernah kukenal, namun selalu kukagumi.
Hingga akhirnya, beginilah caraku mengenalnya, aku bertemunya lewat aksara, dan kutulis barisan-barisan kata untuk dapat mengenalnya sesuai mauku.
Lalu, jika ia adalah Sastra, apakah ia berarti semu? atau mungkin nyata namun hiperbolaku membuatnya semu?
Entahlah kalian akan menganggapnya seperti apa, bagiku dia nyata dalam kumpulan huruf-huruf alfabeta ini.
0 komentar:
Posting Komentar