September 22, 2018

Preservatif Konservatif

Siang itu, cuaca memang berangin, tapi kamu hanya ditemani bayanganmu, masih lengkap dengan seragam tadi pagi.
Jalanmu mulai lelah, tapi kamu paksa untuk sampai setidaknya 2 kilometer lagi untuk melangkah.
Tetes-tetes keringat sudah memperingatkanmu, tapi justru mereka yang memberitahuku.
Memberitahu sepeda motor yang saat itu akan kukendarai untuk tak segera ke tempat ku berada seharusnya.
Memberitahu ragaku untuk segera bergerak ke arahmu, mereka bilang itu harus, mereka bilang bukan maumu, tapi harusku.
Memberitahu tuturku yang biasanya bicara sesukanya untuk menyampaikan yang benar kepadamu.

Siang itu, tuturmu juga menyampaikan yang benar apa maumu. Tutur yang menolak tuturku itu menyampaikan yang benar apa maumu, tapi, caramu melangkah menyampaikan yang benar apa harusku.
Meyakinkanmu adalah keindahan yang inginku panjangkan, perbincangan mengenai bagaimana aku harus membuatmu yakin bahwa kaki-kakimu itu butuh istirahat adalah sebuah tetes air pada kering tenggorokanku.

Siang itu, kali pertama kamu bilang "Iya" untuk apa saja ajakanku. Dan aku tidak berharap lebih, cukup apa yang kamu lakukan setelah kata itu, aku tak menginginkan apapun lagi.
Cukup dengan kamu duduk di jok belakang sepeda motorku, menjaga jarak karena aku tau kamu pasti begitu, dan menyamankan diri sampai nanti tempat tujuan menanti.

Siang itu, obrolan-obrolan kilat kubuat agar kamu tidak mati kebosanan, atau mungkin hanya aku yang ingin berbincang denganmu, di kesempatan yang hampir mustahil ini. Otakku terbagi sempit, antara obrolan itu dan seberapa sebentar waktu yang akan dihabisi untuk ini, mengingat rumahmu yang akan dituju tidak lebih dari 15 menit.

Lalu siang itu, membuat detak-detak di tiap jam berhenti di kepalaku, berharap agar terdapat setidaknya 3600 detik di tiap menitnya. Agar waktu terasa lama. Agar jarak sedekat ini denganmu menjadi sebuah hal yang tak perlu aku banggakan namun dapat dibingkai di salah satu sel-sel otakku yang kecil ini.

Belum hari menyentuh sore, namun langit sudah menunjukkan lembayung-lembayung cenderung mendung, dan 6 detik lagi sudah akan sampai di depan rumahmu. Kelakar di perjalanan tadi masih terngiang di kepalaku, entah bagaimana denganmu, aku tak mau tau.
Lalu turunlah kaki yang tadi telah lelah menyusuri jalan, kuharap sudah tidak lelah lagi.
Harapanku membayang-bayang yang akan terjadi, perbincangan depan rumah sang gadis, lalu diajak untuk masuk ke dalam, sehingga obrolan kilat telah melesat menjadi dialog ballad yang akan terus melekat.
Tapi itu hanya harapan, ketidak-inginanmu, dan ketidak-nyalianku telah menyatu menjadi momen yang terelakkan tersebut.

"Terima kasih" dan "Sama-sama" adalah basa-basi terindah yang terakhir kali ku dengar darimu kala itu, lalu aku terpaku sejenak, apa aku harus pergi? ya aku harus pergi. Kamu memasukki rumah dan sepeda motor ini bergerak seirama dengan setiap sarafku yang mengingatkanku untuk kemana aku harus pergi, meninggalkan apa yang sudah seharusnya terjadi, meninggalkan apa yang sudah kupilih.

Siang itu. Kala itu. Kamu tidak akan ingat, karena itu hanya ada di memoriku, bagaimana denganmu? entahlah, mungkin aku tidak perduli. Tapi aku harap ada di ingatanmu setelah kubagikan semua ini.

0 komentar:

Posting Komentar