Agustus 09, 2022

Narasi Melankoli (VII)

Di lain waktu, aku merasakan ketidakhadiran hangat yang dalam kurun waktu singkat dapat mendekap, beradaptasi dengan mengisi yang agaknya hampa di beberapa ruang dalam tubuh, khayal yang tidak terasa asal.

Di lain waktu, aku merasakan ketidakhadiran.


Di lain ruang, hadirmu membawa kebahagiaan bagi tiap-tiap sudutnya. Pondasi-pondasinya, dinding, lantai, hingga langit-langitnya, yang selalu kuirikan menjadi bagiannya, untuk dapat juga merasakan riangnya canda yang kau bawa. “Sehangat apa? Sebahagia apa?” benakku penuh tanya.

Di lain ruang, hadirmu membawa kebahagiaan.


Kita duduk di satu bangku yang sama, di bangku, peron sebuah stasiun, menunggu keretamu yang entah kapan kan tiba, tidak ku diberitahu,

Dari arlojiku, sudah 10 menit kita menunggu, tidak ada satu kata yang terucap.

Darimu, yang entah kenapa aku tak tahu.

Dariku, yang merasakan tembok besar di antara kita.

Khayal yang tidak terasa asal. Terbatas yang entah mungkin tak beralas.


Baru kali ini aku merasakan lantangnya keheningan. Terlalu gaduh untuk hati yang terlanjur nyaman dengan kesepian.

Raga terlihat biasa, namun rohani diselubungi, hadirnya menahan segala katarsis.

Cuaca cenderung cerah, namun suasana terus berubah-ubah, semua seakan dipenuhi katalis.


Satu yang pasti, keretamu akan tiba, kamu menaikinya, menuju perjalanan jauh yang entah kemana, meninggalkanku dengan segala macam aroma stasiun yang menjadi saksi sebuah kepergian.

Kepergian, entah kepergianmu, atau kepergian asa yang pernah terbangun.

Lalu satu yang tak pasti, sampai keretamu tiba, mungkinkah keheningan ini terpecahkan?

Jika memungkinkan, “Sehangat apa? Sebahagia apa?” benakku penuh tanya.

Depok, 22 Juni 2006
-Dera-

0 komentar:

Posting Komentar